Monday, November 16, 2009

Beban Berat Transportasi Indonesia

Pernah dimuat di Harian Jurnal Nasional, 15 Oktober 2009

Indonesia, negara besar yang memiliki ribuan pulau dan garis pantai terpanjang di dunia merupakan sebuah anugerah sekaligus tantangan yang tak terkira untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Dengan karakteristik wilayah seperti ini ketersediaan infrastruktur, termasuk infrastruktur transportasi menjadi sangat penting. Pasalnya, transportasi merupakan salah satu mata rantai jaringan distribusi barang dan mobilitas penduduk. Juga memiliki peran dalam mendukung, mendorong dan menunjang segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

Pertumbuhan sektor transportasi akan mencerminkan pertumbuhan ekonomi secara langsung sehingga transportasi mempunyai peranan yang penting dan strategis, baik secara makro maupun mikro. Keberhasilan sektor transportasi secara makro diukur dari sumbangan nilai tambahnya dalam pembentukan Produk Domestik Brutto, dampak ganda (multiplier effect) yang ditimbulkannya terhadap pertumbuhan sektor-sektor lain dan kemampuannya meredam laju inflasi melalui kelancaran distribusi barang dan jasa ke seluruh pelosok tanah air. Dari aspek mikro, keberhasilan sektor transportasi diukur dari kapasitas yang tersedia, kualitas pelayanan, aksesibilitas, keterjangkauan daya beli masyarakat, dan utilisasi.

Departemen Perhubungan (Dephub) sebagai institusi yang paling bertanggungjawab di sektor transportasi, tentu saja memiliki beban yang tidak ringan. Dengan transportasi, Dephub dituntut untuk merangkai pulau-pulau di tanah air ini menjadi satu kesatuan dalam Negara Kesatuan Repbulik Indonesia (NKRI). Makanya Dephub harus bisa membangun, mengelola, dan mengembangkan semua matra transportasi, seperti matra darat, laut, udara, danau dan penyeberangan, dan kereta api.

Harus diakui, peringkat daya saing infrastruktur Indonesia , termasuk infrastruktur transportasi masih berada di level 96 dari 134 negara. Posisinya sedikit lebih baik dari Vietnam yang berada di level 97 dan Brazil 98. Sedangkan negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand masing-masing sudah berada di level 19 dan 35. Daya saing infrastruktur transportasi Indonesia pun hanya beda tipis dengan Vietnam dan Brazil dan masih kalah jauh dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand.

Departemen Perhubungan memang terus melakukan pembenahan yang dijabarkan dalam Rencana Strategis (Renstra) 2005-2009 yang mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009. Dalam Renstra tersebut, Departemen Perhubungan masih lebih fokus pada program rehabilitasi dan pemeliharaan infrastruktur transportasi. Meskipun memang ada juga program pengembangan SDM dan pembangunan fisik.

Selama periode lima tahun ini juga Departemen Perhubungan berhasil menyelesaikan revisi perundang-undangan di sektor transportasi. Setidaknya ada empat Undang-undang trasportasi yang berhasil diselesaikan, yaitu UU No 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian; UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran; UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan; dan UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan. Tidak kuang dari 20 Peraturan Pemerintah (PP) yang harus dibuat untuk melengkapi keempat UU tersebut.

Sayangnya, hingga saat ini baru satu PP yang berhasil diselesaikan oleh Departemen Perhubungan, yakni PP No 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian. Selebihnya masih dalam proses pembahasan, inventarisasi, dan konsolidasi. Padahal, bila melihat aturannya, PP tersebut sudah harus ada paling lambat satu tahun setelah UU tersebut disahkan.

Selama lima tahun berjalan Departemen Perhubungan juga telah menerbitkan sekitar delapan peraturan menteri sebagai tindak lanjut dari Inpres No 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Hasilnya memang belum begitu terlihat. Pengusaha pelayaran, industri kapal, dan pengusaha dalam negeri masih belum terintegrasi. Meskipun demikian, Departemen Perhubungan mengklaim, sampai tahun 2008 armada nasional tumbuh sekitar 33,15 persen.

National Single Window
Sejak tahun 2007, Departemen Perhubungan juga sudah meresmikan berbagai fasilitas untuk penerapan Nastional Single Window (NSW) di beberapa pelabuhan dan bandar udara. Tercatat, 19 Desember 2007, Departemen Perhubungan Inaportnet di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta . Kemudian tahun 2008 dikembangkan di Pelabuhan Belawan ( Medan ), Tanjung Perak ( Surabaya ), dan Tanjung Emas ( Semarang ). Tahun 2009 ini fasilitas NSW tersebut ditargetkan dapat beroperasi di Bandara Soekarno Hatta ( Jakarta ) dan Gusti Ngurah Rai ( Bali ). Departemen Perhubungan mengaku, penerapan NSW di Bandara Soekarno Hatta masih dalam tahap penyempurnaan perangkat server di Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.

Penerapan NSW ini dinilai penting karena untuk memenuhi kesepakatan para Pemimpin negara ASEAN tentang integrasi ekonomi negara-negara ASEAN 2015 (ASEAN Economic Community) yang dikenal dengan Declaration of ASEAN Concord II (Bali Concord II) tahun 1993. Bali Concord II ini kemudian ditindaklanjuti dengan adanya Agreement to Establish and Implement The ASEAN Single Window (ASW), yang ditandatangani oleh Menteri-menteri Ekonomi negara ASEAN pada 9 Desember 2005 di Kuala Lumpur, Indonesia diwakili oleh Menteri Perdagangan RI.

Fasilitas International Ship and Port Facility Security Code (ISPS Code) juga terus dilakukan. Hingga tahun 2009 ini ISPS Code sudah diterapkan di sekitar 246 pelabuhan di seluruh Indonesia, yakni 36 pelabuhan umum dan 212 pelabuhan khusus.

Sarana dan Prasarana
Bekerjasama dengan pemerintah daerah Kalimantan Barat, Departemen Perhubungan memasang target penyelesaian pembangunan terminal bus terpadu Antar Kota Antar Negara (AKAN) di Sei Sembawang tahun 2010. Terminal ini rencananya selain untuk Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) dan Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP), juga untuk lintas batas negara antara Indonesia dengan Malaysia . Tahun 2009 ini, pembangunan kondisi fisiknya diklaim telah mencapai 75 persen.

Peembangunan sarana dan prasarana transportasi lainnya antara lain pembangunan pelabuhan penyeberangan yang menghubungkan antara Pulau Sumatera dengan Kuala Linggi Malaka ( Malaysia ). Pelabuhan penyeberangan ini diharapkan selesi tahun ini juga dan sudah bisa uji coba penyeberangan antara Dumai – Malaka. Kemudian membangun sekitar 30 menara suar dengan 80 rambu suar, sehingga pada tahun 2008 Indonesia memiliki sekitar 275 menara suar dan 1.809 rambu suar.

Dalam kurun waktu 2004 hingga 2008, dibangun sekitar 40 kapal patroli untuk Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), sehingga saat ini Departemen Perhubungan memiliki sekitar 170 kapal patroli KPLP. Dan 21 unit kapal patroli lagi sedang dalam tahap pembangunan.

Meskipun demikian masih banyak pembangunan sarana dan prasaran transportasi yang belum bisa diselesaikan oleh Departemen Perhubungan. Diantaranya adalah pembangunan airside Bandara Kualanamu, Medan (Medan Baru); pembangunan airside tahap II Bandara Hasanudin, Makassar ; pembangunan double-double track Manggarai – Cikarang.
Dilihat dari sisi anggaran, Departemen Perhubungan termasuk salah satu departemen yang beruntung karena terus mengalami peningkatan yang signifikan. Sayangnya, peningkatan anggaran tersebut belum disertai dengan pemanfaatan dan pelaporan keuangan yang baik. Akibatnya, hingga tahun 2008 pelaporan keuangan Departemen Perhubungunan belum dianggap baik. Bahkan untuk anggaran tahun 2004-2005, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak memberikan opini (disclaimer). Selama periode tersebut, tidak kurang dari 24 temuan BPK yang harus diperbaiki.

Laporan keuangan periode 2006 dan 2007 juga masih disclaimer. Ada sekitar 15 temuan BPK yang harus diperbaiki. Peringkat laporan keuangan Departemen Perhubungan baru mengalami perbaikan pada periode anggaran 2008, itu pun BPK masih memberikan opini Wajar dengan Pengecualian (WDP).

Cenderung Meningkat
Berdasarkan data Evaluasi Kinerja Departemen Perhubungan 2005 – 2009, angka kecelakaan transportasi (darat, laut, dan udara) selama kurun waktu 2005 – 2009 masih cukup tinggi, bahkan cenderung meningkat, baik dilihat dari sisi jumlah kecelakaan maupun kerugian akibat kecelakaan. Transportasi jalan raya misalnya, sejak tahun 2005 hingga 2008, tidak kurang dari 283.735 kejadian dengan kerugian materi sekitar Rp359,71 miliar. Sedangkan jumlah korban meninggal selama kurun waktu empat tahun tersebut mencapai 67.641 orang. Angka korban meninggal dunia dan kerugian materi tertinggi terjadi pada periode tahun 2008 yang mencapai masing-masing 19.216 orang meninggal dunia dan Rp123,01 miliar kerugian materi.

Kecelakaan kereta api dan pesawat udara juga masih tergolong tinggi. Periode 2005 hingga 9 September 2009 (sebelum masa angkutan lebaran 2009), kecelakaan kereta api mencapai 601 kejadian. Sedangkan kecelakaan transportasi laut selama tiga tahun (2005 – 2007) mencapai 404 kejadian. Dan kecelakaan udara, baik insiden maupun aksiden, selama tahun 2005 hingga Agustus 2009 terjadi 198 kecelakaan.

Persoalan lain masih dihadapi dan menjadi pekerjaan rumah Departemen Perhubungan adalah travel ban maskapai penerbangan nasional oleh Uni Eropa yang sudah terjadi sejak tahun 2007 lalu. Saat ini memang kondisinya sudah lebih baik. Maskapai penerbangan Garuda Indonesia , Airfast Indonesia , Mandala Airlines, dan Ekspress Transportasi Antar Benua sudah diperbolehkan terbang kembali ke negara-negara anggota Uni Eropa.

Dengan melihat berbagai persoalan dan dinamika sektor transportasi di atas, memang tidak mudah bagi siapapun yang memimpin Departemen Perhubungan. Beban berat pasti akan selalu menunggu agar sektor transportasi yang menjadi urat nadi pertumbuhan ekonomi nasional ini benar-benar bisa memberikan sumbangsihnya bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. n Aliyudin Sofyan